Perjalanan sampai sembilan

Perjalanan, bagi saya selalu menyenangkan. Bertemu dengan hal baru, menghirup pagi di pegunungan, mendengar deburan ombak saat mentari beranjak ke peraduan, atau desis angin malam di samping api unggun ketika berkemah di Tawangmangu.

Buat saya, perjalanan bukanlah tentang tujuan. Namun prosesnya on the way-nya yang bikin deg-deg an dan berkesan melekat terus ke ingatan.

Saya masih ingat perjalanan dengan teman sekos-kosan ke Dieng, nyasar nggak tahu jalan. Padahal waktu itu hari sudah gelap, bahkan malam menunjukkan jam istirahat. deg-deg an rasanya. Untunglah berakhir dengan baik, kami menemukan pondok untuk tidur mengumpulkan tenaga untuk melaksanakan refreshing kita.

Wajarlah kalau orang luar negeri merekomendasikan solo traveling lepas SMA. Kata mereka traveling backpakeran keliling dunia setahun, akan membuat anak lebih mendapatkan pelajaran yang jauh lebih banyak dari kuliah empat tahun. Saya sih setuju dengan pendapat itu.

Apalagi ketika kemarin membaca tulisan Pak Rhenald Kasali yang mengharuskan mahasiswanya membuat paspor dan backpakeran ke satu negara, dan dilakukan sendiri tanpa teman. Memaksa mereka untuk survive bagaimanapun keadaan yang akan mereka temui di negeri orang. Great idea, althought it’s hard for our tradition. Yang senengnya ngekepin anak agar aman, bantuin anak agar nggak terlantar and so on.

Di tanggal kemarin pun, saya dan Dinda sampai ke titik check poin ke sembilan, dari tahun-tahun perjalanan kami melepas masa lajang.

It’s been fast though. Nggak nyangka aja udah tahun ke sembilan aja barengan.

Kami pun sudah tidak berdua lagi, tapi berempat kini. Padahal sepertinya baru kemarin rasanya “bengek” mengucapkan ijab qobul.

Meeeen, buat kamu yang masih jomblo. Think about it. Momen saat kamu bicara, ditodong mic dengan volume yang cukup buat didenger puluhan orang di tenda depan rumah, dengan kamera-kamera serta video yang siap mengabadikan momen kamu semoga-nggak-kesrimpet-lidah. haha..

Apalagi sekarang zamananya internet, siap-siap aja kamu malu di hadapan dunia, dan bisa jadi bakal jadi meme atas “ujian lisan” yang kamu hadapi.

Sembilan tahun waktu yang lama, walaupu terasa cepet sih. Ada yang bilang, masa kritis pernikahan adalah di lima tahun pertama. Kalau udah lolos di masa kritis itu, katanya kita bisa klaim bahwa we’ve been through it and last forever till die apart.

Saya nggak tahu validitas klaim di atas.

Tapi yang jelas, sembilan tahun adalah masa yang….. apa ya…. mungkin bisa dianalogikan kayak membuat adonan roti ya. Membersamai orang yang the whole life-nya tumbuh besar dengan circumstance yang sama sekali berbeda dengan kita. Itu adalah challenge yang besar. At least buat saya. Ibarat seorang koki yang sedang membuat adonan kue, banyak percobaan, misalnya : tambahkan gula, taburi telur, kadang masih nyariin margarin ditaruh di mana. Habis itu dirasain, kurang apa lagi, begitu terus sampai dirasa pas, baru dimasukin oven.

Marriage is a long journey and need a persistance along the way.

Lebih ke seni berkomunikasi, memahami dan merespon, mengarahkan atau mengalah. Saling menopang sepanjang waktu.

Well, definisi di atas nggak selalu sama sih, karena tiap pasangan pasti memiliki idealisme masing-masing. Wajar. Tergantung bagaimana tiap pasangan menjalankan pernikahannya. Please don’t judge other’s marriage life especially when they’re not asking.

.

Di hari jadi yang ke sembilan ini.

Saya “buta” tentang parameter yang tepat untuk memaknai hari jadi. Saya googling, keluarnya banyak banget. Jadi migrain malah kepala saya. haha..

Akhirnya saya pilih yang gampang aja, beli bunga online aja trus order untuk dianter ojol, beres. Selain karena lungsuran bunga dari event itu nggak setiap saat ada, itu bakal mudah ketahuan juga, karena istri saya suka jadi pelanggan di sana. wkwkwk

Misal pernah tempo hari, dia senyum senyum sambil bawa buket bunga.

istri : “Senangnya aku dapat bunga!!”
saya : “Dari mana, ay ?”
istri : “Dari Bekas event. Daripada bunga bagus-bagus dicampakkan, aku rawat aja sampai layu sepenuh hati”
saya : ~cari akunnya~

Namun ternyata ada lagi kesulitan yang nggak bisa diorder online. Yaitu : menuliskan kata-kata mutiara. Duh!

Layakanya standart anak milenials, saya searching dong. Namun di page satu hasil searching, malah kata-katanya pada norak, bisa geli sendiri saya menuliskannya. weeks!

Akhirnya saya kontemplasi sekian purnama dan mendapatkan pencerahan.

.

.

“Happy 9th Anniversary, Ay”
“Terima kasih sudah mau sama aku.”

.

.

to the poin, fresh from my (little) brain.

Tinggalkan komentar